Tugas bahasa indonesia saat membaca cerpen dan mendapat nilai 75 yaitu:
Aku Benci Hujan!
Oleh : Intan Permata
Uh… hujan lagi! Aku benci Hujan, apalagi, hujan deras seperti sore ini. Kalau sudah begini, rumahku pasti kebanjiran.
“Ermi…! Tolong bantuin Mama angkat barang-barang ke atas lemari,” teriak Mama dari ruang tamu.
“Iya Ma,” sahutku dari dalam kamar. Padahal, kalau tidak hujan, sore ini aku bisa bermain boneka di rumah Nana. Aku benci hujan!
“Cepetan Ermy, air di jalan sudah tinggi, sebentar lagi mungkin air akan masuk ke dalam rumah,” ujar Mama dengan wajah cemas.
Aku naik ke kursi dan menaikkan barang-barang yang diulurkan Mama ke atas lemari. Kalau saja Papa ada di rumah, mungkin pekerjaan mengangkat barang seperti ini akan berjalan lebih cepat.
“Ah…!” Mama berteriak agak histeris. “Airnya sudah masuk rumah!”
Aku menoleh. Oh… air sudah menggenangi lantai setinggi mata kaki, padahal masih banyak barang yang belum sempat diangkat.
“Boneka Ermy!” teriakku sedih, melihat bonekaku tenggelam.
“Biar Mama ambil,” ucap Mama melangkahkan kaki sambil mengangkat roknya agar tidak basah. “Nanti kita cuci ya,” ucap Mama.
Aku mengangguk sambil terisak.
Dari kaca jendela, diluar hujan terlihat semakin deras. Air yang menggenangi ruangan semakin tinggi. Dengan wajah cemas, Mama terus menaikkan barang-barang penting ke tempat yang kemungkinan tak akan dicapai air.
“Kita ke kamar tamu, Ermy,” Mama mengulurkan tangan kepadaku, hendak menggendong.
“Ermy turun sendiri, Ma. Aaaa… Airnya tinggi banget Ma!” teriakku saat menginjakkan kaki ke lantai dan tersadar bahwa kini genangan air setinggi dadaku.
Kalau ini kolam renang aku tentu senang, tetapi air yang menggenangi tubuhku sekarang ini berbau, berwarna coklat, dan kotor!
Hmmm… sepertinya aku kenal sebagian kecil dari sampah-sampah yang menggenang itu. Ah! Itu kan sampah plastik yang aku lihat di selokan depan rumah tadi pagi! Oh, tidak! Sampah-sampah dari selokan kan kotor sekali! Aku benci banjir! Aku benci hujan! Mama membuka pintu kamarku. Ah, tidak… Benda-benda kesayanganku sudah terendam air semua. Aku sedih.
Hujan deras itu tak mau berhenti. Tiga hari ini rumahku terus digenangi air kotor yang menjijikkan itu. Genangan air itu kini setinggi dada Papa. Aku dan Mama dibawa Papa pergi ke rumah Nana yang rumahnya lebih tinggi. Orang-orangpun banyak yang mengungsi.
Tiga hari ini aku sakit. Mama juga sakit. Aku kedinginan dan kelaparan, tetapi kata Mama di rumah Nana sudah tidak ada makanan. Aku benci hujan!
Tim penyelamat datang. Mereka membawa seisi rumah ke atas perahu karet secara bergiliran. Aku terkejut sekali saat melihat air coklat yang menjijikkan itu nyaris menggenangi atap rumah.
Kotaku memang biasa didatangi banjir. Tetapi, biasanya banjir tahunan itu hanya setinggi pinggangku.
Turun dari atas perahu karet, aku, Mama, dan Papa dibawa tim penyelamat ke sebuah tempat bertenda yang dihuni banyak orang, mungkin ratusan orang. Aku benar-benar merasa tak nyaman. Aku masih sakit, kedinginan, dan kelaparan.
Horeee… Oma dan Opa datang. Siang itu, setelah tiga hari tinggal di tenda, kami sekeluarga tinggal di tempat yang lebih nyaman di rumah Opa di Jampang, sebuah tempat di Kabupaten Sukabumi.
Aku senang sekali dapat melihat gunung dan sungai jernih di persawahan saat tiba di rumah Opa. Tetapi, bagaimana dengan keadaan teman-temanku disana?
Seminggu tinggal di rumah Opa, tiba-tiba turun hujan.
“Mama…!” teriakku saat mendengar tetesan hujan jatuh ke atas atap rumah Opa. “Aku takut!”
“Tenang Ermy,” ujarnya sambil memelukku. “Disini enggak akan ada banjir.”
Meski Mama bilang tenang, tetap saja aku takut.
“Ermy…!” teriak Yudi, sepupuku dari luar rumah. “Main hujan-hujanan yuk!”
“Hujan-hujanan? Enggak mau ah. Takut banjir.”
Yudi tertawa. “Banjir bagaimana? Mau main enggak?” Ia kemudian berlari ketengah halaman, memain-mainkan daun pisang dengan anak-anak tetangga, membentuk barisan, seperti kereta api.
“Kok mereka enggak takut ada banjir sih Mama?” tanyaku iri melihat mereka bersenang-senang dengan air hujan.
Mama tersenyum. “Kalau di sini enggak pernah ada banjir Ermy. Lihat keluar banyak pohon, kan?”
Aku mengangguk. “Ermy tahu kan kalau tanah itu memiliki pori-pori atau lubang-lubang kecil sehingga jika air jatuh ke atas tanah akan masuk ke bagian tanah yang lebih dalam?”
Aku mengangguk lagi.
“Nah, saat turun hujan, air yang masuk ke dalam tanah akan diserap akar-akar pohon yang ada di dalam tanah. Makanya, sederas apapun hujan, air itu tidak akan menggenang. Di Jakarta kebanyakan jalanan terbuat dari beton karena itu enggak punya pori-pori untuk mempersilahkan air masuk ke bagian yang lebih dalam, air hujan yang turun akhirnya menggenang, dan terjadilah banjir. Apalagi di Jakarta pohon-pohon yang ada itu sedikit sekali. Jadinya enggak ada akar yang bisa menyerap air.”
“Kalau begitu, mengapa di Jakarta jalan-jalannya enggak diganti dengan tanah saja Ma? Atau beton-beton dibolongin kecil-kecil biar air hujan enggak menggenang? Terus pohon-pohonnya dibanyakin?”
Mama tertawa kecil. “Itu akan jadi tugas buat kamu kalau sedah besar nanti Ermy,” ujarnya sambil tersenyum.
“Ya… repot. Enggak usah hujan aja sekalian,” ucapku.
Mama tertawa. “Lho! Kalau enggak ada hujan, bagaimana kita bisa minum? Bagaimana pohon bisa tumbuh dan sungai di pegunungan bisa mengalir? Tuhan itu enggak mungkin menciptakan sesuatu tanpa ada maksudnya. Semuanya memiliki fungsi tersendiri.”
Aku mangut-mangut. Begitukah? Hmmm, mungkin aku harus berpikir ulang untuk tidak membenci hujan, tetapi aku masih tak suka banjir. Jadi suatu saat nanti aku akan mencegah tetesan hujan itu menjadi banjir.
Disadur oleh : Tengku Nadya Shafira 7E
dari Harian Kompas, Minggu, Oktober 2008, hal 25
Oleh : Intan Permata
Uh… hujan lagi! Aku benci Hujan, apalagi, hujan deras seperti sore ini. Kalau sudah begini, rumahku pasti kebanjiran.
“Ermi…! Tolong bantuin Mama angkat barang-barang ke atas lemari,” teriak Mama dari ruang tamu.
“Iya Ma,” sahutku dari dalam kamar. Padahal, kalau tidak hujan, sore ini aku bisa bermain boneka di rumah Nana. Aku benci hujan!
“Cepetan Ermy, air di jalan sudah tinggi, sebentar lagi mungkin air akan masuk ke dalam rumah,” ujar Mama dengan wajah cemas.
Aku naik ke kursi dan menaikkan barang-barang yang diulurkan Mama ke atas lemari. Kalau saja Papa ada di rumah, mungkin pekerjaan mengangkat barang seperti ini akan berjalan lebih cepat.
“Ah…!” Mama berteriak agak histeris. “Airnya sudah masuk rumah!”
Aku menoleh. Oh… air sudah menggenangi lantai setinggi mata kaki, padahal masih banyak barang yang belum sempat diangkat.
“Boneka Ermy!” teriakku sedih, melihat bonekaku tenggelam.
“Biar Mama ambil,” ucap Mama melangkahkan kaki sambil mengangkat roknya agar tidak basah. “Nanti kita cuci ya,” ucap Mama.
Aku mengangguk sambil terisak.
Dari kaca jendela, diluar hujan terlihat semakin deras. Air yang menggenangi ruangan semakin tinggi. Dengan wajah cemas, Mama terus menaikkan barang-barang penting ke tempat yang kemungkinan tak akan dicapai air.
“Kita ke kamar tamu, Ermy,” Mama mengulurkan tangan kepadaku, hendak menggendong.
“Ermy turun sendiri, Ma. Aaaa… Airnya tinggi banget Ma!” teriakku saat menginjakkan kaki ke lantai dan tersadar bahwa kini genangan air setinggi dadaku.
Kalau ini kolam renang aku tentu senang, tetapi air yang menggenangi tubuhku sekarang ini berbau, berwarna coklat, dan kotor!
Hmmm… sepertinya aku kenal sebagian kecil dari sampah-sampah yang menggenang itu. Ah! Itu kan sampah plastik yang aku lihat di selokan depan rumah tadi pagi! Oh, tidak! Sampah-sampah dari selokan kan kotor sekali! Aku benci banjir! Aku benci hujan! Mama membuka pintu kamarku. Ah, tidak… Benda-benda kesayanganku sudah terendam air semua. Aku sedih.
Hujan deras itu tak mau berhenti. Tiga hari ini rumahku terus digenangi air kotor yang menjijikkan itu. Genangan air itu kini setinggi dada Papa. Aku dan Mama dibawa Papa pergi ke rumah Nana yang rumahnya lebih tinggi. Orang-orangpun banyak yang mengungsi.
Tiga hari ini aku sakit. Mama juga sakit. Aku kedinginan dan kelaparan, tetapi kata Mama di rumah Nana sudah tidak ada makanan. Aku benci hujan!
Tim penyelamat datang. Mereka membawa seisi rumah ke atas perahu karet secara bergiliran. Aku terkejut sekali saat melihat air coklat yang menjijikkan itu nyaris menggenangi atap rumah.
Kotaku memang biasa didatangi banjir. Tetapi, biasanya banjir tahunan itu hanya setinggi pinggangku.
Turun dari atas perahu karet, aku, Mama, dan Papa dibawa tim penyelamat ke sebuah tempat bertenda yang dihuni banyak orang, mungkin ratusan orang. Aku benar-benar merasa tak nyaman. Aku masih sakit, kedinginan, dan kelaparan.
Horeee… Oma dan Opa datang. Siang itu, setelah tiga hari tinggal di tenda, kami sekeluarga tinggal di tempat yang lebih nyaman di rumah Opa di Jampang, sebuah tempat di Kabupaten Sukabumi.
Aku senang sekali dapat melihat gunung dan sungai jernih di persawahan saat tiba di rumah Opa. Tetapi, bagaimana dengan keadaan teman-temanku disana?
Seminggu tinggal di rumah Opa, tiba-tiba turun hujan.
“Mama…!” teriakku saat mendengar tetesan hujan jatuh ke atas atap rumah Opa. “Aku takut!”
“Tenang Ermy,” ujarnya sambil memelukku. “Disini enggak akan ada banjir.”
Meski Mama bilang tenang, tetap saja aku takut.
“Ermy…!” teriak Yudi, sepupuku dari luar rumah. “Main hujan-hujanan yuk!”
“Hujan-hujanan? Enggak mau ah. Takut banjir.”
Yudi tertawa. “Banjir bagaimana? Mau main enggak?” Ia kemudian berlari ketengah halaman, memain-mainkan daun pisang dengan anak-anak tetangga, membentuk barisan, seperti kereta api.
“Kok mereka enggak takut ada banjir sih Mama?” tanyaku iri melihat mereka bersenang-senang dengan air hujan.
Mama tersenyum. “Kalau di sini enggak pernah ada banjir Ermy. Lihat keluar banyak pohon, kan?”
Aku mengangguk. “Ermy tahu kan kalau tanah itu memiliki pori-pori atau lubang-lubang kecil sehingga jika air jatuh ke atas tanah akan masuk ke bagian tanah yang lebih dalam?”
Aku mengangguk lagi.
“Nah, saat turun hujan, air yang masuk ke dalam tanah akan diserap akar-akar pohon yang ada di dalam tanah. Makanya, sederas apapun hujan, air itu tidak akan menggenang. Di Jakarta kebanyakan jalanan terbuat dari beton karena itu enggak punya pori-pori untuk mempersilahkan air masuk ke bagian yang lebih dalam, air hujan yang turun akhirnya menggenang, dan terjadilah banjir. Apalagi di Jakarta pohon-pohon yang ada itu sedikit sekali. Jadinya enggak ada akar yang bisa menyerap air.”
“Kalau begitu, mengapa di Jakarta jalan-jalannya enggak diganti dengan tanah saja Ma? Atau beton-beton dibolongin kecil-kecil biar air hujan enggak menggenang? Terus pohon-pohonnya dibanyakin?”
Mama tertawa kecil. “Itu akan jadi tugas buat kamu kalau sedah besar nanti Ermy,” ujarnya sambil tersenyum.
“Ya… repot. Enggak usah hujan aja sekalian,” ucapku.
Mama tertawa. “Lho! Kalau enggak ada hujan, bagaimana kita bisa minum? Bagaimana pohon bisa tumbuh dan sungai di pegunungan bisa mengalir? Tuhan itu enggak mungkin menciptakan sesuatu tanpa ada maksudnya. Semuanya memiliki fungsi tersendiri.”
Aku mangut-mangut. Begitukah? Hmmm, mungkin aku harus berpikir ulang untuk tidak membenci hujan, tetapi aku masih tak suka banjir. Jadi suatu saat nanti aku akan mencegah tetesan hujan itu menjadi banjir.
Disadur oleh : Tengku Nadya Shafira 7E
dari Harian Kompas, Minggu, Oktober 2008, hal 25
1 komentar:
wah. cerpenku ada di sini. ha ha ha
salam kenal nadya. liat karya baruku di blog lobilebah.blogspot.com
Posting Komentar